Wednesday 15 January 2014

History Of Balaputradewa

Raja Balaputradewa dari Dinasti Syailendra adalah seorang raja terkenal Kerajaan Sriwijaya yang mencapai puncak kejayaan sekitar ke-8 dan 9M. Semasa pemerintahannya Balaputradewa merupakan raja yang cakap dalam memerintah dan berhasil menjadikan kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan yang besar. Berita tertua tentang kerajaan Sriwijaya berasal dari seorang musafir Cina bernama I-tsing (671M).

Prasasti Kedukan Bukit

Berita lain berasal dari tahun 683M dengan ditemukannya prasasti kedukan bukit di bukit segunting dekat palembang.

Balaputradewa

Menurut Prof. Dr. Slamet Muljana ini, mantan dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dengan argumentnya yang meyakinkan, beliau melokasikan negeri Sriwijaya (Shih-li-fo-shih) di Palembang dan negeri Malayu (Mo-lo-yu) di Jambi. Pelokasian Malayu ditunjang oleh prasasti Amoghapasa di Jambi yang menyebutkan negeri Malayu. Penelitian geomorfologi Dinas Purbakala, 1954, yang membuktikan Jambi abad ke-7 terletak di pantai dan ideal bagi persinggahan kapal, ternyata cocok dengan uraian pendeta I-tsing (634-713) tentang pelabuhan Malayu.

Pada akhir abad ke-8, Kerajaan Sriwijaya telah berhasil menguasai seluruh jalur perdangangan di Asia Tenggara, baik melalaui Selat Sunda maupun Selat Malaka, Selat Karimata dan Tanah Genting Kra. Dengan wilayah kekuasaan itu, Kerajaan Sriwijaya menjadi Kerajaan Laut terbesar di Asia Tenggara. Selain itu di Sriwijaya juga terdapat seorang guru besar agama Budha yang bernama Dharmapala dan Sakyakirti. Hal itu membuktikan bahwa kehidupan sosial masyarakat kerajaan sudah tinggi dan kehidupan sosial pun akan mempengaruhi perkembangan kerajaan Sriwijaya.

Ada sebuah pendapat populer yang mengatakan bahwa Balaputradewa mewarisi tahta Kerajaan Sriwijaya dari kakeknya, lebih jelasnya kakek dari pihak ibunya yakni Sri Dharmasetu. Namun ternyata nama Sri Dharmasetu terdapat dalam prasasti Klurak sebagai bawahan Dharanindra yang ditugasi untuk menjaga bangunan candi klurak tersebut. Jadi anggapan bahwa Dharmasetu merupakan raja dari kerajaan Sriwijaya adalah keliru.

Menurut prasasti Ligor, Kerajaan Sriwijaya berhasil dikuasai Wangsa Syailendra sejak zaman Maharaja Wisnu. Sebagai Anggota Wangsa Syailendra, Balaputradewa berhasil menjadi raja di sumatra, sedangkan kakaknya, Samaratungga menjadi raja di jawa. Jadi Balaputradewa berhasil menjadi raja Kerajaan Sriwijaya bukan karena mewarisi tahta Sri Dharmasetu, tetapi karena sumatra dan jawa telah menjadi daerah kekuasaan Wangsa Syailendra Pada saat itu.

Balapuradewa kehilangan haknya menjadi raja di jawa dikarenakan dia bukan merupakan putra tertua, Putra tertua kerajaan adalah Samaratungga, sehingga Samaratungga lebih berhak menjadi raja di Jawa bila dibandingkan dengan Balaputradewa yang menjadi anak bungsu. Samaratungga mempunyai seorang putri yang bernama Pramodhawardhani yang lalu menikah dengan Jatiningrat. Dari perkawinannya itu, memeroleh anak bernama Dyah Lokapala.

Pada masa peralihan kekuasaan dari raja Samaratungga, terjadi ketegangan antara Pramodhawardhani dengan Balaputradewa. Penyebabnya adalah perebutan kekuasaan di antara mereka. Balaputradewa menganggap bahwa dia memiliki hak yang paling besar atas tahta Kerjaan tersebut karena Balaputradewa adalah adik Samaratungga. Hal itu mendapat perlawanan dari Pramodhawardhani karena menganggap takhta sebagai hak keturunan Samaratungga langsung. Karena Samaratungga tidak memiliki anak laki-laki, takhta itu jatuh kepada menantunya, Jatiningrat atau Rakai Pikatan.

Tidak terima dengan hal itu maka Balaputradewa pun melakukan serangan kepada Pramodhawardhani. Jatiningrat sebagai suami juga ikut membantu istrinya untuk mempertahankan kerajaan dari serangan Balaputradewa. Dengan dukungan yang kalah banyak dari Jatiningrat, Akhirnya Balaputradewa pun kalah dan memilih untuk pergi ke tanah Sumatera.

Kejadian tersebut tercantum dalam beberapa prasasti, yaitu: Prasasti Balaputra-Jatiningrat (856 M), Tulang Air (850 M), dan Argapura (863 M). Dengan demikian, takhta Kerajaan Mataram selanjutnya berada di bawah pimpinan Jatiningrat dengan permaisuri Pramodhawardhani.

Berbicara tentang Balaputradewa tentu erat kaitanya dengan Prasasti Nalanda. Prasti Nalanda dikeluarkan oleh Raja Benggala, Dewapaladewa di Nalanda. Prasasti tersebut ditulis dengan menggunakan bahasa Sansekerta tanpa tarikh tahun. Raja Dewapaladewa adalah pengganti dari Raja Dharmapala yang wafat sekitar tahun 878.

Prasasti Nalanda, terdapat di Nalanda, Bihar, India.

Prasasti Nalanda diterbitkan oleh seorang sarjana dari india bernama Hirananda Sastri dalam Epigraphia Indica no.17 (hlm. 310-327). Hirananda menduga bahwa prasasti Nalanda dikeluarkan sekitar tahun 494. Berisi tentang permintaan Maharaja Balaputradewa dari Suwarnadwipa kepada Raja Dewapaladewa untuk mendirikan wihara di Nalanda. Dalam prasasti Balaputradewa mengaku sebagai cucu Raja Sailendra dari Jawa dan Putra Samaragrawira. Lahir dari Tara. Dalam terjemahannya, Hirananda Sastri lupa menyebut nama Samaragrawira yang tercatat dalam prasasti Nalanda. Oleh karena itu nama Samaragrawira ditambahkan oleh Slamet Muljana pada terjemahannya dalam buku Sriwijaya.

Prasasti Nalanda menimbulkan banyak berbagai persoalan. Persoalan pertama ialah pengakuan Balaputradewa sebagai salah satu keturunan dari wangsa Sailendra di Jawa yang menjadi Raja di Suwarnadwipa. Dalam hal ini Swarnadwipa adalah Sriwjaya. Lalu bagamana mungkin Balaputradewa dari Keturunan Syailendra menjadi raja Suwarnadwipa?

Persoalan kedua adalah siapa yang dimaksud dengan raja Syailendra di jawa yang menjadi kakek dari Balaputradewa? Apakah nama Samaragrawira pada prasasti Nalanda sama dengan nama Samaratungga pada prasasti kalitengah?

Selain itu perkawinan antara Samaragrawira dengan Tara juga menimbulkan persoalan? Karena dalam prasasti Nalanda dituliskan bahwa Tara adalah putri raja Dharmasetu dari Somawangsa. Siapa sebenarnya raja dharmasetu? Apakah benar beliau itu raja sriwijaya? Sehingga akibat dari pernikahan tersebut, Balaputradewa bisa menjadi raja di Sriwijaya. Mengapa Balaputradewa mengaku sebagai cucu dari Raja Syailendra din jawa yang melarikan diri ke Sriwijaya? Itulah beberapa persoalan yang perlu mendapat perhatian. Terdapat beberapa versi mengenai hal tersebut. Salah satu guru besar dari Universitas indonesia Slamet Muljadi juga mempunyai beberapa pendapat mengenai hal ini, pendapat- pendapat tersebut dituangkan dalam sebuah buku, salah satu bukunya yaitu yang berjudul Sriwijaya.

Menurut Krom dalam Hindie-Javaannsche Geschiedenis (hlm 156) beliau menyamakan Samaragrawira dengan Samaratungga pada piagam Kalitengah.

Dari bahasa Prasasti Nalanda terasa bahwa pada waktu mengeluarkan prasasti tersebut Samaratungga telah wafat, maka jika dilihat dari analisis prasasti Karangtengah dan gandasuli, bahwa Samaratungga wafat antara tahun 824 – 832

Tetapi akibat presespsi tersebut maka secara terpaksa Raja Samratungga mempunyai dua orang anak yakni Balaputradewa dengan Pramowardhawardani (seorang putri) dan tentu saja hal ini bersebrangan dengan pemikiran Slamet Muljadi, yang sudah kita bahas pada halaman sebelumnya.

Tetapi pendapat tentang identifikasi antara Samaratungga dengan Samaragrawira yang menimbulkan kotrofersi disutujui oleh seorang sarjana purbakala bernama F.b.k. Bosch dalam karangannya yang berjudul Sriwijaya de Sanjayawansa dalam B.I.I (hlm 113-123).

Sumber : google.com

No comments:

Post a Comment